BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam
sering kali diberikan gambaran oleh orang-orang dan golongan yang tidak pernah
mengenalnya sebagai agama yang mundur dan memundurkan. Islam juga dikatakan
tidak pernah menggalakkan umatnya untuk menuntut dan menguasai berbagai
lapangan ilmu pengetahuan. Kenyataan dan gambaran yang diberikan itu bukan saja
tidak benar tetapi justru bertentangan dengan hakikat sejarah yang sebenarnya. Sejarah
adalah fakta, dan fakta adalah sejarah. Sejarah telah membuktikan betapa dunia
Islam telah melahirkan banyak golongan sarjana dan ilmuwan yang cukup hebat
dalam berbagai bidang keilmuwan.
Pada
masa lalu dan memang sudah ada ajaran Islam, bahwa jika seseorang menemukan
alat atau apapun yang belum ada manusia yang menciptakannya, maka wajiblah
baginya untuk menyebarkan hasil temuannya itu. Menyebarkannya kepada umat
manusia agar mereka semakin dapat mempermudah pekerjaannya dan menjadikan
mereka semakin bersyukur kepada Allah.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka rumusan masalahnya,antara lain sebagai berikut:
Ø Siapa saja para cendekiawan muslim dalam
bidang ilmu ushul fiqih?
Ø Siapa saja para cendekiawan muslim dalam
bidang ilmu hadis?
Ø Siapa saja para cendekiawan muslim dalam
bidang ilmu tafsir?
C.
Tujuan Penulisan
Agar
mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tokoh-tokoh islam terdahulu yang ahli
di bidang ilmu Ushul Fiqih, Hadis, dan Ilmu Tafsir.juga sebagai bahan pelajaran
dalam mata kuliah Metode Study Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Para
Cendekiawan Muslim Dalam Ilmu Ushul Fiqih
1.
Ibnu
Taimiyah
Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam
bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani atau
yang biasa disebut dengan nama Ibnu
Taimiyah saja (lahir: 22
Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H – wafat: 1328/20 Dzulhijjah 728 H), adalah seorang pemikir
dan ulama Islam dari Harran, Turki.
Ibnu
Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW
dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu
generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, danTabi'ut tabi'in yaitu
generasi yang mengenal langsung para Tabi'in,
adalah contoh yang terbaik untuk kehidupan Islam.[1]
Ia
berasal dari keluarga religius. Ayahnya Syihabuddin bin Taimiyah adalah seorang
syaikh, hakim, dan khatib. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin
Abdullah bin Taimiyah al Harrani adalah seorang ulama yang menguasai fiqih,
hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an (hafidz).
Ia adalah orang yang keras
pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah,
mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah
berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu
merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali
atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu
terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah.
Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi
cita-citaku.”
Dan
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu
diantaranya ilmu hitung (matematika),
khat (ilmu tulis menulis Arab),
nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga
dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an.
Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah
keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul
hadits (perawi
hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul
hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami
semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah
atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan
kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis
tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia
mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya
dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul
Wardi bahwa
karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah
Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam
Ibnu
Taimiyah wafatnya di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnul
Qayyim, ketika beliau
sedang membaca Al-Qur an surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal Muttaqina fi jannatin
wanaharin"[1] . Ia berada di penjara ini selama dua tahun
tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat
pada tanggal 20 DzulHijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktuAshar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal
Al-Islam Syarafuddin[2].
Jenazah ia disalatkan di masjid
Jami`Bani Umayah sesudah salat Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara
serta para penduduk
2.
Imam Syafi’i
Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī
atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i yang akrab dipanggil Imam Syafi'i Lahir: 767 M, Gaza Meninggal: 820 M, Fustat,
Mesir. Beliau adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan
juga pendiri mazhab Syafi'i .Imam Syafi’i merupakan orang yang pertama
kali membukukan ilmu Ushul Fiqh. Ia mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang
bahasa Arab, sehingga masuk dalam jajaran tokoh ahli bahasa, selain merupakan
seorang ahli hadis yang ternama, ia juga cakap dalam menyelesaikan
permasalahan-parmasalahan fiqh yang terjadi saat itu[3].
Penguasaan
imam Syafi’i terhadap fiqhahli ra’yi serta pendapat-pendapatpara sahabat
dijadikan landasan dalam menetapkan kaidah-kaidah qiyas dan juga sebagai dasar
untuk menetapkan kaidah-kaidah dalam menggali hukum. Dalam hal ini bakan berati
beliau yang menciptkan seluruh kaidah tersebut, tetapi hanyalah menganalisis
secara mendalam metode penetapan hukum yang telah dipakai oleh ulama ahli fiqh
yang belum sempat dibukukan. Jadi dia bukanlah yang menciptkan metode
penggalian hukum syara’ (ushul fiqh) tersebut, akan tetapi dialah orang yang
pertama kali menghimpun metode-metode tersebut dalam suatu disiplin ilmu yang
hubungan bagian-bagiannya tersusun secara sistematis.
Pendapat yang menyatakan Imam Syafi’i sebagai pemula dalam membukukan ilmu
Ushul Fiqh ini dalah pendapat Jumhur (mayoritas) fuqaha’, dan tidak ada satu
orangpun yang mengingkarinya. satu
karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al
Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang
mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak
dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah
orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang
pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”.
Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits,
bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat
amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’,
takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi.
3.
Imam
Baihaqi
Beliau
adalah Al-Imam Al-Hafidz Al-Muttaqin Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali bin
Musa Al-Khusrujardi Al-Baihaqi, yang menjadi Imam Kharasan pada masanya,
pemilik banyak karangan yang bermutu. Beliau dilahirkan di Khusrujard pada
bulan Sya’ban tahun 384 H
Adalah seorang Ulama ahli fiqh,
ushul fiqh, hadis dan seorang tokoh utama dalam madzhab Syafi’i. Ia dilairkan
di Khasrujard, Baihaq, yaitu di Naisabur Persia[4].
Ia mempelajari Hadis dan mendalami Fiqh Madzhab Syafi’I, dandalam hal Akidah
mengikutiMadzhab Asy’ari. Dalam pencarian ilmunya ia mendatangi para Ulama di
Baghdad, Kufah, dan Makkah, sebelum akahirnya kembali ke-Baihaqi. Imam Baihaqi
kemudian mengajar di Naysabur, dan menjadi orang pertama yang mengumpulkan
naskah-naskah fiqh Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Mabsuth, sekaligus
menjadi penyebar fiqh mazhab Syafi’i.
“Tidak ada pengikut mazhab Syafi’i
yang mempunyai keutamaan melebihi Baihaqi, karena karyanya dalam mengembangkan
mazhab dan pendapat Syafi’i”. Berkata Abdul Gaffar
Al-Farisy An-Naisabury dalam Dzail Tarikh Naisabuiry: “Abu Bakar
Al-Baihaqi Al-Hafidz Al-Ushuli, seorang yang tekun beragama dan wara’,
terunggul di zamannya dalam hafalan, orang yang paling teliti dan cermat
diantara teman-temannya, shahabat terbesar dari Al-Hakim yang mengunggulinya
dengan bermacam-macam ilmu, beliau menulis hadits dan menghafalnya dari mulai
kanak-kanak, alim dalam ilmu fiqh dan melampaui yang lainnya serta menguasai ilmu
ushul. Beliau pergi ke Irak, Hijaz, kemudian mengarang kitab yang karangannya
mencapai ribuan juz yang belum pernah ada sebelumnya mencapai jumlah tersebut,
mengumpulkan antara ilmu hadits dan fiqh, menjelaskan kelemahan-kelemahan
hadits. Para ulama meminta beliau untuk pindah dari Nahiyah ke Naisabur untuk
mendengarkan kitabnya, kemudian beliau mendatangi mereka pada tahun 441 H, dan
mereka mendirikan majelis taklim untuk mendengarkan pengajian kitab “Al-Ma’rifah”
dimana majelis ini dihadiri oleh para ulama. Beliau juga sosok yang
berjalan diatas sirah para ulama yang selalu menekankan kemudahan, dan selalu
memperindah prilaku zuhud dan kewaraanya.”
kemudian
ajal mendatangi beliau pada 10 Jumadil Ula tahun 458 H kemudian beliau
dipindahkan dengan Tabut (peti mati) ke negerinya dan dimakamkan disana, semoga
Allah merahmatinya dengan rahmat-Nya yang sangat luas, menenangkannya dan
membersihkan jenazahnya.
4.
Imam
Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi
asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53
tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad
Pertengahan[5]
Abu
Hamid Al-Ghazali yang selanjutnya disebut Al-Ghazali, lebih dikenal sebagai hujjat
al-Islam wa al-Muslimin, karena dedikasinya yang tinggi dan karya-karyanya
dalam mengembangkan pemikiran Islam di berbagai bidang. Lebih dari lima puluh
kitab hasil karyanya dalam katalogisasi kitab klasik, baik dalam bidang
teologi, filsafat,tasawuf maupun ilmu fiqih.
Karyanya
dalam ilmu ushul, ada beberapa tipologi yang dikembangkan oleh Imam Al-Ghazali
dalam dua kitabnya yang pertama, Al-Mankhul
min ta’liqat al-ushul dan syifaa
al-ghalil fi bayani al-syibhi wa al-mukhayah wa masalik al ta’lil.
Tipologi
pemikiran hukumnya mengikuti corak pemikiran hukum gurunya, Imam Haraimain
al-Juwaeni. Sedangkan pada al-Mustasyfa. Ghazali menjadi tokoh ushul
yang mandiri yang menyebakkan ilmu ushul yang filosofis. Karya-karyanya telah
banyak diedit oleh para Ulama. Diantara kayanya yang telah diedit,dielaborasi
atau diringkas antara lain dalam bidang Ushul Fiqh. Karya yang sepat
diperbanyaj antara lain al-Mankhul, Syifa al-Galul, dan al-Mustasyfa min Ilm
al-Ushul. Faktor lain yang mendukung munculnya gagasan baru Ghazali juga
karena sudah tidak ada tokoh yang paling berpengaruh pada Ghazali, Imam
Haramain. Dengan demikian kesempatan Ghazali untuk merefleksikan ide-idenya
dalam ushul fiqh menjadi sebuah kenyataan. Pola yang dikembangkan oleh Ghazali
berbeda dengan karya-karya sebelumnya.
5.
Ibnul
Qoyyim Al- Jauziyyah
Beliau adalah Syamsuddin Abu
'Abdillah Muhammad bin Abubakar bin Ayyub bin Su'ad bin Hariz az-Zar'i
ad-Dimasyqi, dan dikenal dengan sebutan Ibnul Qoyyim[6].
Beliau adalah ahli fiqih bermazhab Hanbali. Disamping itu juga seorang ahli Tafsir,
ahli hadits, penghafal Al-Quran, ahli ilmu nahwu, ahli ushul, ahli ilmu kalam,
sekaligus seorang mujtahid[7].
Beliau adalah salah seorang murid seorang imam dan mujtahid, Syaikhul-Islam
Taqiyuddin Ahmad ibn Taymiyyah al-Harani ad-Dimasyqi yang wafat tahun 728 H.
Ibn Rajab menuturkan bahwa
Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah telah menerima pengeyahuan dari asy-Syihab an-Nabulsi
dan juga dari yang lainnya. Ia juga telah menekuni nazhabnya, cakap dan mampu
memberikan fatwa. Ia senantiasa menyertai Ibn Taymiyyah sekaligus mengambil
ilmu dari beliau. dan menguasai ilmu-ilmu Islam. Ia adalah seorang ahli tafsir
yang tiada bandingnya dan sekaligus ahli ilmu ushuluddin. Ia menguasai ilmu
hadits berikut makna-maknanya, pemahamannya serta dasar-dasar pengambilan hukum
darinya.
Selain itu ia menguasai pula ilmu
fiqih, ushul fiqih dan bahasa arab, di samping mahir dalam bidang menulis. Ia
pun menguasai ilmu kalam dan ilmu-ilmu lainnya. Ia juga seorang alim dalam hal
ilmu suluk dan menguasai wacana ahli tasawuf dan tidak menolak sama sekali
tasawuf. Kuatnya kesadaran akan perjalanannya ke alam kubur memotivasinya untuk
menyebarkan ilmunya.
Selain itu Imam Ibnul-Qoyyim juga
seorang ahli ibadah dan senantiasa menunaikan shalat tahajjud dengan
memanjangkannya. Ia mengalami beberapa kali ujian penjara bersama Syaikh Ibn
Taymiyyah. Dalam kesempatan terakhir, ia berada di penjara sendirian dan baru
dilepaskan setelah syaik Ibn Taymiyyah meninggal. Ia menunaikan haji beberapa
kali. Orang-orang banyak mengambil ilmu dan memperoleh manfaat darinya.
Sementara itu, Burhanuddin Az-Zar'i
mengatakan bahwa tidak ada di bawah ufuk bumi ini yang lebih luas ilmunya
daripada Ibnul-Qoyyim . Dia telah menulis dengan tangannya karya-karya yang tak
dapat digambarkan dan menyusun sejumlah karangan yang banyak sekali tentang
berbagai ilmu.
Ibnul-Qoyyim meninggal dunia pada
waktu isya' tanggal 18 Rajab 751 H. Ia dishalatkan di Mesjid Jami' Al-Umawi dan
setelah itu di Masjid Jami' Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush
Shagir.
B.
Para Cendekiawan Muslim Dalam Ilmu
Hadis
1. Imam
Bukhari
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari atau lebih dikenal Imam Bukhari (Lahir 196
H/810 M Karena
lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah;
beliau dikenal sebagai al-Bukhari- Wafat 256 H/870 M) adalah ahli hadits yang termasyhur di antara para ahli
hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah
bahkan dalam kitab-kitab Fiqih dan Hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi.
Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits
(Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua
ulama di dunia merujuk kepadanya.
Sebagian karya-karya beliau yaitu:
·
Al-Adab al-Mufrad
·
Adh-Dhu'afa ash-Shaghir
·
At-Tarikh ash-Shaghir
·
At-Tarikh al-Ausath
·
At-Tarikh al-Kabir
·
At-Tafsir al-Kabir
Kebesaran akan keilmuan beliau diakui dan dikagumi sampai
ke seantero dunia Islam. Di Naisabur, tempat asal imam Muslim seorang Ahli
hadits yang juga murid Imam Bukhari dan yang menerbitkan kitab Shahih Muslim,
kedatangan beliau pada tahun 250 H disambut meriah, juga oleh guru Imam Bukhari
Sendiri Muhammad bin Yahya Az-Zihli. Dalam kitab Shahih Muslim, Imam Muslim menulis.
"Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, saya tidak melihat kepala daerah,
para ulama dan warga kota memberikan sambutan luar biasa seperti yang mereka
berikan kepada Imam Bukhari". Namun kemudian terjadi fitnah yang
menyebabkan Imam Bukhari meninggalkan kota itu dan pergi ke kampung halamannya
di Bukhara.
Seperti halnya di Naisabur, di Bukhara beliau disambut
secara meriah. Namun ternyata fitnah kembali melanda, kali ini datang dari
Gubernur Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad Az-Zihli yang akhirnya Gubernur ini menerima hukuman dari Sultan Uzbekistan Ibn Tahir.
Tak lama kemudian, atas permintaan warga Samarkand sebuah
negeri tetangga Uzbekistan, Imam Bukhari akhirnya menetap di Samarkand. Tiba di
Khartand, sebuah desa kecil sebelum Samarkand,
ia singgah untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh
sakit selama beberapa hari, dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870
M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Ia
dimakamkan selepas Salat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri.[8]
2. Imam Muslim
Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin
al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Imam Muslim
dilahirkan di Naisabur tahun 202 H atau 817 M. Naisabur, saat ini termasuk
wilayah Rusia. Dalam sejarah Islam, Naisabur dikenal dengan sebutan Maa Wara’a
an Nahr, daerah-daerah yang terletak di belakang Sungai Jihun di Uzbekistan,
Asia Tengah.
Berkat kegigihan dan kecintaannya pada hadits, Imam Muslim
tercatat sebagai orang yang dikenal telah meriwayatkan puluhan ribu hadits.
Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria,
menyebutkan, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih
Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan.
Bila dihitung dengan pengulangan, lanjutnya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sedang menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang ditulis dalam Shahih Muslim merupakan hasil saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk menyelasekaikan kitab Sahihnya, Muslim membutuhkan tidak kurang dari 15 tahun.
Bila dihitung dengan pengulangan, lanjutnya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sedang menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang ditulis dalam Shahih Muslim merupakan hasil saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk menyelasekaikan kitab Sahihnya, Muslim membutuhkan tidak kurang dari 15 tahun.
Selain itu, Imam Muslim dikenal sebagai tokoh yang sangat
ramah. Keramahan yang dimilikinya tidak jauh beda dengan gurunya, Imam Bukhari.
Dengan reputasi ini Imam Muslim oleh Adz-Dzahabi disebutan sebagai Muhsin min
Naisabur (orang baik dari Naisabur).
Sebagian karya-karya yang berhasil ia tulis antara lain:
1) Al-Asma’ wal-Kuna,
2) Irfadus Syamiyyin,
3) Al-Arqaam,
4) Al-Intifa bi Juludis Siba’,
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H
dengan mewariskan sejumlah karyanya yang sangat berharga bagi kaum Muslim dan
dunia Islam.[9]
3.
Abu
Dawud
Nama lengkap Abu Dawud ialah
Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi
as-Sijistani.Beliau adalah Imam dan tokoh ahli hadits, serta pengarang kitab
sunan. Beliau dilahirkan tahun 202 H. di Sijistan.
Sejak kecil Abu Dawud sangat
mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama untuk menimba ilmunya.
Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk melanglang ke berbagai
negeri. Dia belajar hadits dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam,
Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya. Pengemba-raannya ke
beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits sebanyak-banyaknya.
Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan. Abu Dawud sudah
berulang kali mengunjungi Bagdad. Di kota itu, dia me-ngajar hadits dan fiqih
dengan menggunakan kitab sunan sebagai buku pe-gangan. Kitab sunan itu
ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin
Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus.
Sikap Abu Dawud yang memuliakan ilmu dan ulama ini
dapat diketahui dari kisah yang diceritakan oleh Imam al-Khattabi dari Abu
Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Dia berkata: "Aku bersama Abu Dawud
tinggal di Bagdad. Di suatu saat, ketika kami usai melakukan shalat magrib,
tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu kubuka pintu dan seorang pelayan
melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq minta ijin untuk masuk. Kemudian
aku memberitahu Abu Dawud dan ia pun mengijinkan, lalu Amir duduk. Kemudian Abu
Dawud bertanya: "Apa yang mendorong Amir ke sini?" Amir pun menjawab "Ada
tiga kepentingan". "Kepentingan apa?" Tanya Abu Dawud. Amir
mengatakan: "Sebaiknya anda tinggal di Basrah, supaya para pelajar dari
seluruh dunia belajar kepadamu. Dengan demikian kota Basrah akan makmur lagi.
Karena Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji."
Setelah hidup penuh dengan kegiatan ilmu,
mengumpulkan dan menyebarluaskan hadits, Abu Dawud wafat di Basrah, tempat
tinggal atas per-mintaan Amir sebagaimana yang telah diceritakan. la wafat
tanggal 16 Syawal 275 H. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridanya
kepada-nya.[10]
4.
Imam
al-Tirmizi
.
Al-Imam
al-Tirmizi nama lengkapnya adalah Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah Ibn Musa
Ibn al-Dhahak al-Sulami al-Bughi al-Tirmidzi[11],
nasabnya ada dua yaitu: al-Sulami, dinisbatkan kepada kabilahnya dan Tirmidzi,
dinisbatkan pada negerinya (Tirmidz), sebuah kota yang terletak di sebelah
utara sungai jihun di utara Iran
Kata
Tirmidzi sering juga kita dengar orang membacanya dengan Turmidzi, Tarmidzi dan
lainnya, tapi dalam lisan al-Arab kata itu dibaca Tirmidzi (ta kasrah
dan min kasrah) sebagai nama kota yang terkenal di khurasan[12] .
Para
ahli sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran al-Imam al-Tirmidzi secara
pasti, tetapi sebagian dari mereka memperkirakan kelahirannya tahun 209 H, al-Dzahabi
berkata beliau lahir pada tahun 210 H. Ini mungkin terjadi karena pada zaman
dahulu memang sering sekali ulama sebagai orang yang terkenal, orang besar,
dicatat saat wafatnya, tetapi jarang sekali diketahui dan dicatat hari
kelahirannya, karena budaya mencatat tanggal lahir belum memasyarakat lagi pula
orang tuanya tidak tahu kalau nanti anaknya akan menjadi ulama yang besar.
Ada
juga yang mengatakan kalau beliau lahir dalam keadaan buta, peryataan tersebut
tentu masih perlu diselidiki lebih jauh, karena al-Imam al-Tirmidzi pernah
mendatangi seorang ulama dengan tujuan meneliti beberapa hadis yang diterimanya
melalui perantara ulama teryata hadis yang dihafalnya itu tidak ada perbedaan[13].
Andaikata ia dalam keadaan buta tentu ia hanya akan meneliti hafalannya tidak
sampai pada tulisan.
Al-Hafidz
Ibn Allaq(wafat 352 H), ia termasuk ulama yang mengetahui dari sumber pertama,
bahwa al-Imam lahir dalam keadaan melihat hanya pada akhir masa hidupnya,
karena akibat banyak menghafal, membaca, menulis dan menyelesaikan beberapa
karangannya, al-Imam sakit mata yang tidak berhasil disembuhkan dan akhirnya
mengalami kebutaan hingga masa wafatnya.
Setelah
meninggalkan jasa yang besar kepada kaum muslimin, al-Imam al-Tirmidzi
meninggal dunia pada malam senin, 13 Rajab tahun 279 H di desa Bugh, salah satu
desa di negerinya (Tirmidz) yakni dalam usia 70 tahun[14]
semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha’ baginya Amin.
5.
Ibnu
Majah
Nama
lengkap Ibnu Majah adalah Muhammad Ibn Yazid al-Raba`iy al-Qazwiniy Abu
Abdillah Ibn Majah al-Hafizh[15],
beliau seorang hafizh terkenal penulis kitab as-Sunan. Beliau dinisbahkan
kepada golongan rabi`ah dan bertempat tinggal di Qazwain, suatu kota Iran
bagian Persia yang sangat terkenal dan banyak mengeluarkan ulama. Beliau lahir
pada tahun 209
H, di Qozwiny daerah irak.. Ibnu Majah hidup pada masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah yakni pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (198 H/813 M) sampai
akhir pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir (295 H/908 M).
Ibnu Majah dikenal pada masanya sebagai
orang yang mencintai ilmu pengetahuan terutama dalam bidang ilmu hadis,
sehingga para ulama baik semasa atau sesudahnya mengakui kedalaman ilmunya.
Sejak umur 15 tahun, Beliau mulai belajar hadis kepada salah seorang ulama yang
bernama Ali Ibn Muhammad al-Tanasafi (w. 233
H). selanjutnya pada usia lebih kurang 21
tahun, Beliau mulai mengadakan rihlah ilmiyah ke berbagai kota dan daerah untuk
mempelajari hadis dan mengumpulkannya.[16]
Daerah yang dikunjungi Ibnu Majah antara lain: Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah,
Bashrah, Mekkah, Madinah, Damaskus, ar-Ray dan Fusthath. Sebagaimana yang
terlihat dalam peta.
Ø Karya-karya Ibnu Majah
Selain sebagai Muhaddits, Ibnu Majah juga dikenal sebagai Mufassir dan
Muarrikh, ini dapat dilihat dari karya-karya beliau yaitu:
1. kitab Sunannya yaitu Sunan Ibn
Majah,
2. Tafsir al-Qur`an al-Karim lengkap
3. Al-Tarikh yang berisi tentang
sejarah para perawi hadis sejak masa sahabat hingga masa hidupnya.
Akan tetapi karyanya selain kitab Sunan Ibn Majah telah hilang. kitab Ibnu
Majah yakni Tafsir Al-Qur’an ditulis hanya sebatas terjemahannya saja
keberadaannya dapat dijumpai sampai sekarang namun masih dalam bentuk
manuskrip. dan Kitab Tarikh-nya sampai saat ini belum ada informasi yang pasti
tentang keberadaan kitab tersebut. namun adanya dugaan sebuah kitab tentang
Tarikh yang dinisabahkan kepada Ibn Majah yakni Tarikh al-Khulafa[17].
Beliau
wafat pada tanggal 22
ramadhan 273
H. jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya Abu Bakar kemudian dimakamkan oleh
dua saudaranya Abu Bakar dan Abdullah serta dibantu oleh seorang anaknya
Abdullah.
C.
Para Cendekiawan Muslim Dalam Ilmu Tafsir
Ø Tafsir
bil Ma’sur.
Yaitu Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan
hadis-hadis nabi. Adapun para Mufassirinnya adalah:
1.
Ibnu Jarir
Ath-Thobary
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin
Katsir seorang imam, ulama’ dan mujtahid, ulama kunyahnya Abu Ja’far Ath
Thobari. Beliau dari penduduk Aamuly, bagian dari daerah Thobristan, karena
itulah sesekali ia disebut sebagai Amuli selain dengan sebutan yang masyhur
dengan at-Thabari. Uniknya Imam Thabari dikenal dengan sebutan kunyah Abu
Ja’far, padahal para ahli sejarah telah mencatat bahwa sampai masa akhir
hidupnya Imam Thabari tidak pernah menikah. Beliau dilahirkan pada akhir tahun
224 H awal tahun 225. Beliau wafat pada usia 86 tahun di Baghdad negri
kelahiranya pada tahun 310 ijriah.
Selain
banyaknya bidang keilmuan yang disentuh, bobot karya-karya al-Thabari
sangat dikagumi para ulama dan peneliti. Al-Hasan ibn Ali al-Ahwazi, ulama
qira’at, menyatakan, “Abu Ja`far [al-Thabari] adalah seorang ulama fiqih,
hadits, tafsir, nahwu, bahasa dan `arudh. Dalam semua bidang tersebut dia
melahirkan karya bernilai tinggi yang mengungguli karya para pengarang lain.
ami’ul Bayan Fi Tafsiril
Qur’an adalah “Keterangan Lengkap Tentang Tafsir Al Qur’an” atau yang di
kalangan ulama dan pencari ilmu, populer dengan sebutan Tafsir Ath
Thabari.
Sebagaimana
judulnya, tafsir ini dinilai sebagai tafsir yang paling lengkap dan populer di
kalangan ulama dan pencari ilmu. Tak heran bila kitab ini dijadikan rujukan
para ahli tafsir yang mengedepankan nash maupun ahli tafsir yang lebih
mengedepankan logika dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an di jamannya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkomentar, Adapun tafsir-tafsir yang ada di
tangan manusia, yang paling baik adalah tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari. Hal ini
karena menyebutkan ucapan-ucapan salaf dengan sanad-sanad yang kokoh, tidak
menukil kebid’ahan, dan tidak menukil dari orang-orang yang diragukan agamanya.
2. Ibnu Athiyyah
Nama lengkapnya
adalah al-Qadhi Abu Muhammad Abd al-Haq ibn Ghalib ibn Abdurrahman ibn Ghalib
ibn Athiyyah al-Muharibi. Ia lahir di Granada pada tahun 481 H. Ia dibesarkan
di tengah keluarga yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ayahnya adalah
seorang ulama hadis terkemuka yang hafal beribu-ribu hadis. Dari ayah inilah ia
mendapat pendidikan dasar agama Islam.
Ibnu Athiyyah
dianugerahi kecerdasan yang luar biasa. Karena itu, pelajaran yang diterimanya
dengan mudah dihafalkan. Tentang hal ini, Imam as-Sayuthi dalam kitab Bughya
al-Wu’ad berkata, “Ia orang yang mulia. Terlahir dari keluarga yang
berilmu. Otaknya sangat cerdas. Bagus pemahamannya dan terpuji budi
pekertinya.”
Ibnu Athiyyah
banyak menulis karya. Hanya saja, karya berupa tafsir telah melambungkan
popularitasnya. Tafsir yang diberi nama al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir
Al-Qur’an al-Aziz mampu membangkitkan nasionalisme Arab. Melalui tafsir
itu, ia tak henti-hentinya memberi semangat kepada generasi muda untuk bersatu
dan memandang kehidupan dengan penuh optimistis.
Tafsir ini
ditulis dengan bahasa yang ringkas dan sarat makna. Dengan tafsir ini ia mampu
mengalahkan ulama yang hidup semasa dengannya—dan bahkan juga sesudahnya. Ibnu
al-Umairah az-Zahabi memberi kesaksian tentang hal ini. Ia berkata, “Ibnu
Athiyyah mengarang kitab dalam bidang tafsir yang mengungguli kitab-kitab
sebelumnya.”
Ibnu Athiyyah
banyak menulis karya. Hanya saja, karya berupa tafsir telah melambungkan
popularitasnya. Tafsir yang diberi nama al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir
Al-Qur’an al-Aziz mampu membangkitkan nasionalisme Arab. Melalui tafsir
itu, ia tak henti-hentinya memberi semangat kepada generasi muda untuk bersatu
dan memandang kehidupan dengan penuh optimistis.
Tafsir ini
ditulis dengan bahasa yang ringkas dan sarat makna. Dengan tafsir ini ia mampu
mengalahkan ulama yang hidup semasa dengannya—dan bahkan juga sesudahnya. Ibnu
al-Umairah az-Zahabi memberi kesaksian tentang hal ini. Ia berkata, “Ibnu
Athiyyah mengarang kitab dalam bidang tafsir yang mengungguli kitab-kitab sebelumnya.”
Tanggal 25
Ramadhan 541 Hijriah, Ibnu Athiyah, seorang ulama hadis dan tafsir terkenal
asal Andalusia, meninggal dunia. Dia berasal dari keluarga berpendidikan dan
hampir semua anggota keluarga itu adalah ilmuwan dan sastrawan. Meskipun Ibnu Athiyah
terkenal sebagai ahli tafsir dan hadis, namun banyak penulis sejarah yang
mencatat bahwa dia juga menguasai ilmu fiqih, ushul fiqih, dan sastra. Karya
terpenting Ibnu Athiyah adalah kitab tafsir dengan mukadimah yang dianggap
sebagai karya terbaik dalam ilmu Quran. Karya lain Ibnu Athiyah berjudul
"al-Barnamij".
3. Muhamad Bin Ishaq
Muhammad
bin Ishaq. Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Sang pengembara yang mencari ilmu
ke berbagai negara, seorang pakar hadits Islam Abu Abdillah Muhammad, putra
seorang ahli hadits yang bernama Abu Ya’qub Ishaq bin al-Hafizh Abu Abdillah
Muhammad bin Yahya bin Mandah. Nama asli Mandah adalah Ibrahim bin al-Walid bin
Sandah, berasal dari Ashfahan (disebut juga Isfahan atau Ashbahan, 300km dari
Teheran, Iran).
Beliau dilahirkan
pada tahun 310 atau 311 H. Di dalam Lisan al-Mizan, al-Hafizh Ibnu
Hajar berkata, “Ibnu Mandah lahir pada tahun 316 H dan mulai mendengar
hadits pada tahun 318 H dan sesudahnya.” Namun ucapan Ibnu Hajar ini
adalah jelas sebuah kekeliruan, sebagaimana ditegaskan oleh pen-tahqiq
Kitab at-Tauhid karya Ibnu Mandah.
Ibnu Mandah
dilahirkan di Ashbahan, salah satu kota di wilayah Khurasan. Di kota inilah
banyak dilahirkan sosok ulama besar semacam Abu Nu’aim al-Ashbahani penulis Hilyatul
Auliya’, Dawud azh-Zhahiri, Abul Fadhl al-Ashbahani -yang dijuluki dengan Qowamus
Sunnah- dan lain sebagainya. Di kota inilah Ibnu Mandah menimba ilmu,
belajar akhlak dan mengejar keutamaan kepada para ulamanya. Pada tahun 330 H
-ketika itu umurnya tidak lebih dari 20 tahun- beliau mulai mengadakan
perjalanan untuk menimba ilmu ke Naisabur. Beliau pun terus melakukan
perjalanan untuk menimba ilmu ini ke berbagai negeri selama 40 tahun lamanya.
Setelah itu, beliau pulang ke negeri asalnya dalam keadaan telah menjadi
seorang ulama besar yang telah mencatat ilmu dari 1700 orang guru. Dalam usia
yang masih belia, Ibnu Mandah sudah mulai mendengar penuturan hadits-hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada waktu itu -tahun 318 H- Ibnu
Mandah masih berumur antara 7 hingga 8 tahun. Beliau mendengarkan hadits dari
ayahnya -Ishaq- dan juga dari paman ayahnya Abdurrahman bin Yahya bin Mandah,
dan juga dari para ulama Ashbahan yang lain.
Beliau juga
menyusun kitab-kitab bantahan untuk ahli bid’ah. Di antara karyanya adalah ar-Radd
‘alal Lafzhiyah dan ar-Radd ‘alal Jahmiyah. Beliau juga sangat
perhatian dalam masalah akidah, oleh karenanya beliau menulis kitabnya yang
sangat terkenal Kitab at-Tauhid. Ibnu Mandah bukan hanya pakar dalam bidang
hadits, beliau juga ahli di bidang tafsir dan mumpuni di bidang sejarah dan
qiro’at. bnu Mandah wafat pada tahun 395 H. Sebagaimana penjelasan Imam
adz-Dzahabi dalam kitabnya; Siyar A’lam an-Nubala’, Tadzkiratul
Huffazh, dan Mizanul I’tidal. Demikian pula penjelasan al-Hafizh
Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisanul Mizan. Keterangan Ibnu Abi Ya’la
dalam kitabnya Thabaqat al-Hanabilah, Ibnul ‘Imad dalam Syadzarat
adz-Dzahab. Dan keterangan Ibnu Taghri Bardi dalam an-Nujum az-Zahirah.
Dan inilah pendapat Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan.[18]
Ø . Tafsir Bir Ra’yi
yaitu AL –Qur’an yang di tafsirkan berdasarkan pada akal
pikiran (rasional)
4.
Abu Muslim Al Asfahany (254-322 H)
Seorang pembesar negara di Asfahan, termasuk penulis yang ulung, sangat pandai
dalam urusan tafsir dan dalam berbagai ilmu. Ia juga merupakan salah
seorang tokoh mu’tazilah.
Nama : Abu Muslim Muhammad Ibn Baher. Ia adalah orang yang pertama
kali menyusun tafsir Al Qur’an yang lengkap atas dasar dirayat yang benar dan
kaidah-kaidah yang kuat sesuai dengan kehendak bahasa. Pendapat-pendapatnya
banyak dikutip oleh Fakhruddin Ar Razi dalam menulis tafsirnya.
Diantara pendapatnya yang cukup menggegerkan sebagian ulama ialah: “
Tidak ada didalam Al Qur’an suatu ayat yang telah di-mansukh-kan, segala ayat
yang didakwa mansukh dapat kita tanfikkan, karena itu tidak ada nasikh dan
mansukh”.
Karya
· Jami’ut
Ta’wil, suatu kitab tafsir yang terdiri dari 14 jilid. Tafsir ini
sangat baik susunannya, pentakhihannya, dan bagus uraiannya. Kitab ini tidak
berkembang dalam masyarakat, tetapi sari patinya banyak dinukilkan oleh Ar
Razi. Jika mempelajari tafsir Ar Razi, sebagian besar pendapat
Asfahani telah dipindahkan Ar Razi dalam kitabnya yang bernama Al
Muqtathaf.
5.
Imam al-Nasafiy
Al-Nasafiy
merupakan ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu. Beliau adalah imam yang
memiliki pandangan yang luas lagi mendalam, tokoh di bidang Fiqh dan Ushul
Fiqih, menguasai ilmu Hadîts dan serta ilmu Tafsîr. Mereka yang
membaca karya-karyanya akan melihat ketelitian, ketepatan penggunaan bahasa, kefokusan,
dan sarat informasi yang beragam dalam ruang lingkup yang sempit. Hal ini
dapat menyulitkan mereka yang bukan pakar untuk mengadopsi dan memahami pemikirannya.
Imam al-Nasafiy
belajar kepada banyak guru, diantara yang termasuk gurunya adalah Syams
al-'Aimmah al-Kurdiy, Ahmad bin Muhammad al-'Itabi dan deretan nama-nama besar
lainnya. Sebagai seorang ulama yang ternama
di massanya, al_Nasafiy juga meninggalkan karya yang tidak sedikit, di dalam
berbagai bidang ilmu, Di antara karya Imam Nasafiy tersebut
adalah: Matan al-Wafiy fi al-Furu’, yang kemudian kitab ini beliau syarah
di dalam kitab al-Kafi fi Syarh al-Wafi, Kanz al-Daqâ’iq
(di bidang Fiqh), Manar al-Anwâr fi
Ushul al-Fiqh, 'Umdah al-'Aqa'id fi Ushûl
al-Dîn dan berbagai karya lainnya,
termasuk kitab Tafsîr Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl yang
menjadi pembahasan di dalam makalah ini.
Imam Nasafiy adalah sosok yang zuhud, shaleh dan takwa.
Di samping aktif dalam kegiatan ilmiah, pengkajian dan penelitian, la
merupakan pakar kenamaan di masanya dan masa sesudahnya. Allah memberikan keberkahan terhadap banyak karyanya. Hingga
kemudian menjadi rujukan dan objek studi bagi ulama setelahnya. Hal ini
karena kecermatan beliau serta pilihan kata dalam setiap karyanya yang lugas
dan tidak berbelit-belit.[19]
Berkat kecerdasan dan keluasan
ilmunya, al-Nasafiy memperoleh apresiasi dari banyak ulama, seperti
al-‘Asqalaniy menyebut beliau dengan sebutan
علامة الدنيا‘Allamah al-Dunya. Lain lagi dengan al-Hâfizh
‘abd al-Qâdir dalam Thabaqat-nya, sebagai mana yang dikutip oleh
al-‘Asqalaniy, ia menulis sebagai berikut:
أحد الزهاد المتأخرين
صاحب التصانيف المفيدة في الفقه والأصول...
Salah seorang zuhud yang hidup di
abad terakhir, yang memiliki karya-karya bermanfaat di bidang fiqih dan ushul...
Sebagai ulama ahlu
sunnah, al-Nasafiy
mempunyai sikap yang tegas
dan jelas terhadap setiap penyimpangan dalam penafsiran al-Qur’ân, terutama
terhadap tafsîr al-Kassyâf. Dirinya tidak hanya mengkritisi
pemikiran Mu'tazilah dalam tafsîr al-Kassyâf, namun juga seluruh buku-buku teologis karyanya.
Al-Nasafiy wafat pada tahun 701 Hijriyah
di kota 'Aidzaj yang terletak di antara Khuzistan dan Ashfahan. Sedangkan di dalam kitab Thabaqat
al-Mufassirun, karya al-Adnarawiy disebutkan bahwa al-Nasafiy meninggal
pada tahun 710 H di kota Baghdad.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ibnu
Taymiah, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi, Imam Al Gazali, dan Ibnu Qayim al Jauziyah
adalah sebagian para ulama yg ahli di bidang ushul fiqih, namun mereka tidak
hanya ahli dalam satu bidang ilmu saja.Mereka memiliki kemampuan masing-masing
selain ilmu ushul fiqih. Seperti ibnu Taymiah yg ahli di bidang tafsir, imam
Syafi’i, imam Baihaqi dan imam Gazali yg ahli di bidang hadis, dan fiqih, dan
Ibnu qayim al jauziah yg ahli tafsir n ushu lfiqih yang tiada tandingannya.
Iamam
Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur di antara para ahli hadits
sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam
Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu
Majah bahkan dalam
kitab-kitab Fiqih dan Hadits.hadits-hadits imam Bukhari memiliki derajat yang tinggi.
Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di
dunia merujuk kepadanya
Ø Ilmu tafsir dibagi menjadi dua Tafsir
bil Ma’sur.
Yaitu Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan
hadis-hadis nabi. Adapun para Mufassirinnya adalah:
·
Ibnu Jarir
Ath-Thobary
·
Ibnu Athiyyah
·
Muhamad Bin Ishaq
Ø . Tafsir Bir Ra’yi
yaitu AL –Qur’an yang di tafsirkan berdasarkan pada akal
pikiran (rasional) musafirnya yaitu:
·
Imam
al-Nasafiy
·
Abu Muslim Al Asfahany (254-322 H)
[2]
Lihat Jamharah Ansabil ‘Arab karya Ibnu Hazm rahimahullahu hal 275. Lihat
At-Tibyan Syarh Badi’atil Bayan karya Ibnu Nashir (Program Syamilah).
[3] Abd. al-Rahim al-Asnawi Ijmal al-Din, Tabaqat al-Syafi’iyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), hlm.
18.
[4] Al-Sunan al-Shaghir, Imam Baihaqi(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah cet. pertama, thn. 1412H-1992 M)
[5]
Ikhwan Fauzi, Lc, Cendekiawan Muslim
Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, Hlm.9
[6] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama
Salaf, (Jakarta : Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, 2008), cet. III, h.
12.
[7]
Kitab Ighasatul Lahfan min Mashaa-idisy Syaithan, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah,
tahqiq: Khalid Abdul Lathif As-Saba` Al-`Alami, cetakan.1,
[8] Ibn Rāhwayh, Isḥāq (1990), in Balūshī, ʻAbd al-Ghafūr ʻAbd al-Ḥaqq
Ḥusayn, Musnad Isḥāq ibn Rāhwayh (ed. 1st), Tawzīʻ Maktabat al-Īmān,
hlm. 150–165
[9] Mushthalah
al-Hadis, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal. 90-92, cetakan Jami'ah
al-Imam Muhammad bin Su'ud al-Islamiyyah
[10]
uhamad Alawi Al-Maliki.Ilmu Ushul Hadis,
Adnan Qohar (terj) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006 ).277.
[11]
Abu Isa Muhammad Ibn Isa Saurah, al-Jami’al-Shahih Li al-Tirmidzi Juz
I(Cet. I; Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), h. 77.
[12]
Abi al-Fadhli Jamaluddin Muhammad Ibn Mukram Ibn Mandzur, Lisanul Arab
Jilid I (Kairo: Dar al-Ma’arif, t. th.), h. 431.
[13] Nuruddin Itr, al-Imam al-Tirmidzi (Cet I; Mesir: Lajnah
Ta’lif wa Tarjamah wa al-Nasyri’1970), h. 11
[14]
Abdullah bin Abdullah, Op. Cit., h. 122.
[15]
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits
(Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 254
[16]
Nawir Yuslem, 9 Kitab Induk Hadis (Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2011), cet.
Kedua, h. 127-128
[17]
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Studi Kitab Hadits (Jakarta: Teras, 2003), h.
164.
[18]
Pengantar Kitab at-Tauhid li Ibni Mandah, hal. 1-69
[19]
Mani’ ‘abd al-Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirîn, terj. Metodologi
Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2006), h. 44