Senin, 11 Agustus 2014

para cendekiawan muslim



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sering kali diberikan gambaran oleh orang-orang dan golongan yang tidak pernah mengenalnya sebagai agama yang mundur dan memundurkan. Islam juga dikatakan tidak pernah menggalakkan umatnya untuk menuntut dan menguasai berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Kenyataan dan gambaran yang diberikan itu bukan saja tidak benar tetapi justru bertentangan dengan hakikat sejarah yang sebenarnya. Sejarah adalah fakta, dan fakta adalah sejarah. Sejarah telah membuktikan betapa dunia Islam telah melahirkan banyak golongan sarjana dan ilmuwan yang cukup hebat dalam berbagai bidang keilmuwan.
Pada masa lalu dan memang sudah ada ajaran Islam, bahwa jika seseorang menemukan alat atau apapun yang belum ada manusia yang menciptakannya, maka wajiblah baginya untuk menyebarkan hasil temuannya itu. Menyebarkannya kepada umat manusia agar mereka semakin dapat mempermudah pekerjaannya dan menjadikan mereka semakin bersyukur kepada Allah.
B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalahnya,antara lain sebagai berikut:

Ø  Siapa saja para cendekiawan muslim dalam bidang ilmu ushul fiqih?
Ø  Siapa saja para cendekiawan muslim dalam bidang ilmu hadis?
Ø  Siapa saja para cendekiawan muslim dalam bidang ilmu tafsir?

C.    Tujuan Penulisan

Agar mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tokoh-tokoh islam terdahulu yang ahli di bidang ilmu Ushul Fiqih, Hadis, dan Ilmu Tafsir.juga sebagai bahan pelajaran dalam mata kuliah Metode Study Islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Para Cendekiawan Muslim Dalam Ilmu Ushul Fiqih

1.      Ibnu Taimiyah
Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah saja (lahir: 22 Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H – wafat: 1328/20 Dzulhijjah 728 H), adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki.
Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, danTabi'ut tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Tabi'in, adalah contoh yang terbaik untuk kehidupan Islam.[1]
Ia berasal dari keluarga religius. Ayahnya Syihabuddin bin Taimiyah adalah seorang syaikh, hakim, dan khatib. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani adalah seorang ulama yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an (hafidz).
Ia adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
Dan Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam
Ibnu Taimiyah wafatnya di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnul Qayyim, ketika beliau sedang membaca Al-Qur an surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin"[1] . Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat pada tanggal 20 DzulHijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktuAshar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin[2].
Jenazah ia disalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah salat Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk
2.      Imam Syafi’i
Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i yang akrab dipanggil Imam Syafi'i Lahir: 767 M, Gaza Meninggal: 820 M, Fustat, Mesir. Beliau  adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i .Imam Syafi’i merupakan orang yang pertama kali membukukan ilmu Ushul Fiqh. Ia mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab, sehingga masuk dalam jajaran tokoh ahli bahasa, selain merupakan seorang ahli hadis yang ternama, ia juga cakap dalam menyelesaikan permasalahan-parmasalahan fiqh yang terjadi saat itu[3].
Penguasaan imam Syafi’i terhadap fiqhahli ra’yi serta pendapat-pendapatpara sahabat dijadikan landasan dalam menetapkan kaidah-kaidah qiyas dan juga sebagai dasar untuk menetapkan kaidah-kaidah dalam menggali hukum. Dalam hal ini bakan berati beliau yang menciptkan seluruh kaidah tersebut, tetapi hanyalah menganalisis secara mendalam metode penetapan hukum yang telah dipakai oleh ulama ahli fiqh yang belum sempat dibukukan. Jadi dia bukanlah yang menciptkan metode penggalian hukum syara’ (ushul fiqh) tersebut, akan tetapi dialah orang yang pertama kali menghimpun metode-metode tersebut dalam suatu disiplin ilmu yang hubungan bagian-bagiannya tersusun secara sistematis.
                  Pendapat yang menyatakan Imam Syafi’i sebagai pemula dalam membukukan ilmu Ushul Fiqh ini dalah pendapat Jumhur (mayoritas) fuqaha’, dan tidak ada satu orangpun yang mengingkarinya. satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi.
3.      Imam Baihaqi
Beliau adalah Al-Imam Al-Hafidz Al-Muttaqin Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali bin Musa Al-Khusrujardi Al-Baihaqi, yang menjadi Imam Kharasan pada masanya, pemilik banyak karangan yang bermutu. Beliau dilahirkan di Khusrujard pada bulan Sya’ban tahun 384 H
Adalah seorang Ulama ahli fiqh, ushul fiqh, hadis dan seorang tokoh utama dalam madzhab Syafi’i. Ia dilairkan di Khasrujard, Baihaq, yaitu di Naisabur Persia[4]. Ia mempelajari Hadis dan mendalami Fiqh Madzhab Syafi’I, dandalam hal Akidah mengikutiMadzhab Asy’ari. Dalam pencarian ilmunya ia mendatangi para Ulama di Baghdad, Kufah, dan Makkah, sebelum akahirnya kembali ke-Baihaqi. Imam Baihaqi kemudian mengajar di Naysabur, dan menjadi orang pertama yang mengumpulkan naskah-naskah fiqh Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Mabsuth, sekaligus menjadi penyebar fiqh mazhab Syafi’i.
“Tidak ada pengikut mazhab Syafi’i yang mempunyai keutamaan melebihi Baihaqi, karena karyanya dalam mengembangkan mazhab dan pendapat Syafi’i”. Berkata Abdul Gaffar Al-Farisy An-Naisabury dalam Dzail Tarikh Naisabuiry: “Abu Bakar Al-Baihaqi Al-Hafidz Al-Ushuli, seorang yang tekun beragama dan wara’, terunggul di zamannya dalam hafalan, orang yang paling teliti dan cermat diantara teman-temannya, shahabat terbesar dari Al-Hakim yang mengunggulinya dengan bermacam-macam ilmu, beliau menulis hadits dan menghafalnya dari mulai kanak-kanak, alim dalam ilmu fiqh dan melampaui yang lainnya serta menguasai ilmu ushul. Beliau pergi ke Irak, Hijaz, kemudian mengarang kitab yang karangannya mencapai ribuan juz yang belum pernah ada sebelumnya mencapai jumlah tersebut, mengumpulkan antara ilmu hadits dan fiqh, menjelaskan kelemahan-kelemahan hadits. Para ulama meminta beliau untuk pindah dari Nahiyah ke Naisabur untuk mendengarkan kitabnya, kemudian beliau mendatangi mereka pada tahun 441 H, dan mereka mendirikan majelis taklim untuk mendengarkan pengajian kitab “Al-Ma’rifah” dimana majelis ini dihadiri oleh para ulama. Beliau juga sosok yang berjalan diatas sirah para ulama yang selalu menekankan kemudahan, dan selalu memperindah prilaku zuhud dan kewaraanya.”
kemudian ajal mendatangi beliau pada 10 Jumadil Ula tahun 458 H kemudian beliau dipindahkan dengan Tabut (peti mati) ke negerinya dan dimakamkan disana, semoga Allah merahmatinya dengan rahmat-Nya yang sangat luas, menenangkannya dan membersihkan jenazahnya.

4.      Imam  Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan[5]
Abu Hamid Al-Ghazali yang selanjutnya disebut Al-Ghazali, lebih dikenal sebagai hujjat al-Islam wa al-Muslimin, karena dedikasinya yang tinggi dan karya-karyanya dalam mengembangkan pemikiran Islam di berbagai bidang. Lebih dari lima puluh kitab hasil karyanya dalam katalogisasi kitab klasik, baik dalam bidang teologi, filsafat,tasawuf maupun ilmu fiqih.
Karyanya dalam ilmu ushul, ada beberapa tipologi yang dikembangkan oleh Imam Al-Ghazali dalam dua kitabnya yang pertama, Al-Mankhul min ta’liqat al-ushul dan syifaa al-ghalil fi bayani al-syibhi wa al-mukhayah wa masalik al ta’lil.
Tipologi pemikiran hukumnya mengikuti corak pemikiran hukum gurunya, Imam Haraimain al-Juwaeni. Sedangkan pada al-Mustasyfa. Ghazali menjadi tokoh ushul yang mandiri yang menyebakkan ilmu ushul yang filosofis. Karya-karyanya telah banyak diedit oleh para Ulama. Diantara kayanya yang telah diedit,dielaborasi atau diringkas antara lain dalam bidang Ushul Fiqh. Karya yang sepat diperbanyaj antara lain al-Mankhul, Syifa al-Galul, dan al-Mustasyfa min Ilm al-Ushul. Faktor lain yang mendukung munculnya gagasan baru Ghazali juga karena sudah tidak ada tokoh yang paling berpengaruh pada Ghazali, Imam Haramain. Dengan demikian kesempatan Ghazali untuk merefleksikan ide-idenya dalam ushul fiqh menjadi sebuah kenyataan. Pola yang dikembangkan oleh Ghazali berbeda dengan karya-karya sebelumnya.
5.      Ibnul Qoyyim Al- Jauziyyah
Beliau adalah Syamsuddin Abu 'Abdillah Muhammad bin Abubakar bin Ayyub bin Su'ad bin Hariz az-Zar'i ad-Dimasyqi, dan dikenal dengan sebutan Ibnul Qoyyim[6]. Beliau adalah ahli fiqih bermazhab Hanbali. Disamping itu juga seorang ahli Tafsir, ahli hadits, penghafal Al-Quran, ahli ilmu nahwu, ahli ushul, ahli ilmu kalam, sekaligus seorang mujtahid[7]. Beliau adalah salah seorang murid seorang imam dan mujtahid, Syaikhul-Islam Taqiyuddin Ahmad ibn Taymiyyah al-Harani ad-Dimasyqi yang wafat tahun 728 H.

Ibn Rajab menuturkan bahwa Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah telah menerima pengeyahuan dari asy-Syihab an-Nabulsi dan juga dari yang lainnya. Ia juga telah menekuni nazhabnya, cakap dan mampu memberikan fatwa. Ia senantiasa menyertai Ibn Taymiyyah sekaligus mengambil ilmu dari beliau. dan menguasai ilmu-ilmu Islam. Ia adalah seorang ahli tafsir yang tiada bandingnya dan sekaligus ahli ilmu ushuluddin. Ia menguasai ilmu hadits berikut makna-maknanya, pemahamannya serta dasar-dasar pengambilan hukum darinya.

Selain itu ia menguasai pula ilmu fiqih, ushul fiqih dan bahasa arab, di samping mahir dalam bidang menulis. Ia pun menguasai ilmu kalam dan ilmu-ilmu lainnya. Ia juga seorang alim dalam hal ilmu suluk dan menguasai wacana ahli tasawuf dan tidak menolak sama sekali tasawuf. Kuatnya kesadaran akan perjalanannya ke alam kubur memotivasinya untuk menyebarkan ilmunya.

Selain itu Imam Ibnul-Qoyyim juga seorang ahli ibadah dan senantiasa menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkannya. Ia mengalami beberapa kali ujian penjara bersama Syaikh Ibn Taymiyyah. Dalam kesempatan terakhir, ia berada di penjara sendirian dan baru dilepaskan setelah syaik Ibn Taymiyyah meninggal. Ia menunaikan haji beberapa kali. Orang-orang banyak mengambil ilmu dan memperoleh manfaat darinya.

Sementara itu, Burhanuddin Az-Zar'i mengatakan bahwa tidak ada di bawah ufuk bumi ini yang lebih luas ilmunya daripada Ibnul-Qoyyim . Dia telah menulis dengan tangannya karya-karya yang tak dapat digambarkan dan menyusun sejumlah karangan yang banyak sekali tentang berbagai ilmu.

Ibnul-Qoyyim meninggal dunia pada waktu isya' tanggal 18 Rajab 751 H. Ia dishalatkan di Mesjid Jami' Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami' Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.


B.     Para Cendekiawan Muslim Dalam Ilmu Hadis

1.      Imam Bukhari
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari atau lebih dikenal Imam Bukhari (Lahir 196 H/810 M Karena lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah; beliau dikenal sebagai al-Bukhari- Wafat 256 H/870 M) adalah ahli hadits yang termasyhur di antara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah bahkan dalam kitab-kitab Fiqih dan Hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Sebagian karya-karya beliau yaitu:
·         Al-Adab al-Mufrad
·         Adh-Dhu'afa ash-Shaghir
·         At-Tarikh ash-Shaghir
·         At-Tarikh al-Ausath
·         At-Tarikh al-Kabir
·         At-Tafsir al-Kabir
Kebesaran akan keilmuan beliau diakui dan dikagumi sampai ke seantero dunia Islam. Di Naisabur, tempat asal imam Muslim seorang Ahli hadits yang juga murid Imam Bukhari dan yang menerbitkan kitab Shahih Muslim, kedatangan beliau pada tahun 250 H disambut meriah, juga oleh guru Imam Bukhari Sendiri Muhammad bin Yahya Az-Zihli. Dalam kitab Shahih Muslim, Imam Muslim menulis. "Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, saya tidak melihat kepala daerah, para ulama dan warga kota memberikan sambutan luar biasa seperti yang mereka berikan kepada Imam Bukhari". Namun kemudian terjadi fitnah yang menyebabkan Imam Bukhari meninggalkan kota itu dan pergi ke kampung halamannya di Bukhara.
Seperti halnya di Naisabur, di Bukhara beliau disambut secara meriah. Namun ternyata fitnah kembali melanda, kali ini datang dari Gubernur Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad Az-Zihli yang akhirnya Gubernur ini menerima hukuman dari Sultan Uzbekistan Ibn Tahir.
Tak lama kemudian, atas permintaan warga Samarkand sebuah negeri tetangga Uzbekistan, Imam Bukhari akhirnya menetap di Samarkand. Tiba di Khartand, sebuah desa kecil sebelum Samarkand, ia singgah untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari, dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Ia dimakamkan selepas Salat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri.[8]

2.      Imam Muslim
Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Imam Muslim dilahirkan di Naisabur tahun 202 H atau 817 M. Naisabur, saat ini termasuk wilayah Rusia. Dalam sejarah Islam, Naisabur dikenal dengan sebutan Maa Wara’a an Nahr, daerah-daerah yang terletak di belakang Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah.
Berkat kegigihan dan kecintaannya pada hadits, Imam Muslim tercatat sebagai orang yang dikenal telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, menyebutkan, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan.
Bila dihitung dengan pengulangan, lanjutnya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sedang menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang ditulis dalam Shahih Muslim merupakan hasil saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk menyelasekaikan kitab Sahihnya, Muslim membutuhkan tidak kurang dari 15 tahun.
Selain itu, Imam Muslim dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah. Keramahan yang dimilikinya tidak jauh beda dengan gurunya, Imam Bukhari. Dengan reputasi ini Imam Muslim oleh Adz-Dzahabi disebutan sebagai Muhsin min Naisabur (orang baik dari Naisabur).
Sebagian karya-karya yang berhasil ia tulis antara lain:
 1) Al-Asma’ wal-Kuna,
2) Irfadus Syamiyyin,
3) Al-Arqaam,
4) Al-Intifa bi Juludis Siba’,
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H dengan mewariskan sejumlah karyanya yang sangat berharga bagi kaum Muslim dan dunia Islam.[9]
3.      Abu Dawud
Nama lengkap Abu Dawud ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani.Beliau adalah Imam dan tokoh ahli hadits, serta pengarang kitab sunan. Beliau dilahirkan tahun 202 H. di Sijistan.

Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama untuk menimba ilmunya. Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk melanglang ke berbagai negeri. Dia belajar hadits dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya. Pengemba-raannya ke beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits sebanyak-banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan. Abu Dawud sudah berulang kali mengunjungi Bagdad. Di kota itu, dia me-ngajar hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab sunan sebagai buku pe-gangan. Kitab sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus.
Sikap Abu Dawud yang memuliakan ilmu dan ulama ini dapat diketahui dari kisah yang diceritakan oleh Imam al-Khattabi dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Dia berkata: "Aku bersama Abu Dawud tinggal di Bagdad. Di suatu saat, ketika kami usai melakukan shalat magrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu kubuka pintu dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq minta ijin untuk masuk. Kemudian aku memberitahu Abu Dawud dan ia pun mengijinkan, lalu Amir duduk. Kemudian Abu Dawud bertanya: "Apa yang mendorong Amir ke sini?" Amir pun menjawab "Ada tiga kepentingan". "Kepentingan apa?" Tanya Abu Dawud. Amir mengatakan: "Sebaiknya anda tinggal di Basrah, supaya para pelajar dari seluruh dunia belajar kepadamu. Dengan demikian kota Basrah akan makmur lagi. Karena Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji."
Setelah hidup penuh dengan kegiatan ilmu, mengumpulkan dan menyebarluaskan hadits, Abu Dawud wafat di Basrah, tempat tinggal atas per-mintaan Amir sebagaimana yang telah diceritakan. la wafat tanggal 16 Syawal 275 H. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridanya kepada-nya.[10]

4.      Imam al-Tirmizi
. Al-Imam al-Tirmizi nama lengkapnya adalah Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah Ibn Musa Ibn al-Dhahak al-Sulami al-Bughi al-Tirmidzi[11], nasabnya ada dua yaitu: al-Sulami, dinisbatkan kepada kabilahnya dan Tirmidzi, dinisbatkan pada negerinya (Tirmidz), sebuah kota yang terletak di sebelah utara sungai jihun di utara Iran
Kata Tirmidzi sering juga kita dengar orang membacanya dengan Turmidzi, Tarmidzi dan lainnya, tapi dalam lisan al-Arab kata itu dibaca Tirmidzi (ta kasrah dan min kasrah) sebagai nama kota yang terkenal di khurasan[12] .
Para ahli sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran al-Imam al-Tirmidzi secara pasti, tetapi sebagian dari mereka memperkirakan kelahirannya tahun 209 H, al-Dzahabi berkata beliau lahir pada tahun 210 H. Ini mungkin terjadi karena pada zaman dahulu memang sering sekali ulama sebagai orang yang terkenal, orang besar, dicatat saat wafatnya, tetapi jarang sekali diketahui dan dicatat hari kelahirannya, karena budaya mencatat tanggal lahir belum memasyarakat lagi pula orang tuanya tidak tahu kalau nanti anaknya akan menjadi ulama yang besar.
Ada juga yang mengatakan kalau beliau lahir dalam keadaan buta, peryataan tersebut tentu masih perlu diselidiki lebih jauh, karena al-Imam al-Tirmidzi pernah mendatangi seorang ulama dengan tujuan meneliti beberapa hadis yang diterimanya melalui perantara ulama teryata hadis yang dihafalnya itu tidak ada perbedaan[13]. Andaikata ia dalam keadaan buta tentu ia hanya akan meneliti hafalannya tidak sampai pada tulisan.
Al-Hafidz Ibn Allaq(wafat 352 H), ia termasuk ulama yang mengetahui dari sumber pertama, bahwa al-Imam lahir dalam keadaan melihat hanya pada akhir masa hidupnya, karena akibat banyak menghafal, membaca, menulis dan menyelesaikan beberapa karangannya, al-Imam sakit mata yang tidak berhasil disembuhkan dan akhirnya mengalami kebutaan hingga masa wafatnya.
Setelah meninggalkan jasa yang besar kepada kaum muslimin, al-Imam al-Tirmidzi meninggal dunia pada malam senin, 13 Rajab tahun 279 H di desa Bugh, salah satu desa di negerinya (Tirmidz) yakni dalam usia 70 tahun[14] semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha’ baginya Amin.

5.      Ibnu Majah
Nama lengkap Ibnu Majah adalah Muhammad Ibn Yazid al-Raba`iy al-Qazwiniy Abu Abdillah Ibn Majah al-Hafizh[15], beliau seorang hafizh terkenal penulis kitab as-Sunan. Beliau dinisbahkan kepada golongan rabi`ah dan bertempat tinggal di Qazwain, suatu kota Iran bagian Persia yang sangat terkenal dan banyak mengeluarkan ulama. Beliau lahir  pada tahun 209 H, di Qozwiny daerah irak.. Ibnu Majah hidup pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yakni pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (198 H/813 M) sampai akhir pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir (295 H/908 M).
Ibnu Majah dikenal pada masanya sebagai orang yang mencintai ilmu pengetahuan terutama dalam bidang ilmu hadis, sehingga para ulama baik semasa atau sesudahnya mengakui kedalaman ilmunya. Sejak umur 15 tahun, Beliau mulai belajar hadis kepada salah seorang ulama yang bernama Ali Ibn Muhammad al-Tanasafi (w. 233 H). selanjutnya pada usia lebih kurang 21 tahun, Beliau mulai mengadakan rihlah ilmiyah ke berbagai kota dan daerah untuk mempelajari hadis dan mengumpulkannya.[16] Daerah yang dikunjungi Ibnu Majah antara lain: Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Bashrah, Mekkah, Madinah, Damaskus, ar-Ray dan Fusthath.  Sebagaimana yang terlihat dalam peta.
Ø  Karya-karya Ibnu Majah
          Selain sebagai Muhaddits, Ibnu Majah juga dikenal sebagai Mufassir dan Muarrikh, ini dapat dilihat dari karya-karya beliau yaitu:
1.      kitab Sunannya yaitu Sunan Ibn Majah,
2.      Tafsir al-Qur`an al-Karim lengkap
3.      Al-Tarikh yang berisi tentang sejarah para perawi hadis sejak masa sahabat hingga masa hidupnya.
          Akan tetapi karyanya selain kitab Sunan Ibn Majah telah hilang. kitab Ibnu Majah yakni Tafsir Al-Qur’an ditulis hanya sebatas terjemahannya saja keberadaannya dapat dijumpai sampai sekarang namun masih dalam bentuk manuskrip. dan Kitab Tarikh-nya sampai saat ini belum ada informasi yang pasti tentang keberadaan kitab tersebut. namun adanya dugaan sebuah kitab tentang Tarikh yang dinisabahkan kepada Ibn Majah yakni Tarikh al-Khulafa[17].
Beliau wafat pada tanggal 22 ramadhan 273 H. jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya Abu Bakar kemudian dimakamkan oleh dua saudaranya Abu Bakar dan Abdullah serta dibantu oleh seorang anaknya Abdullah.


C.    Para Cendekiawan Muslim Dalam Ilmu Tafsir

Ø  Tafsir bil Ma’sur.
Yaitu Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan hadis-hadis nabi. Adapun para Mufassirinnya adalah:
1.      Ibnu Jarir Ath-Thobary
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir seorang imam, ulama’ dan mujtahid, ulama  kunyahnya Abu Ja’far Ath Thobari. Beliau dari penduduk Aamuly, bagian dari daerah Thobristan, karena itulah sesekali ia disebut sebagai Amuli selain dengan sebutan yang masyhur dengan at-Thabari. Uniknya Imam Thabari dikenal dengan sebutan kunyah Abu Ja’far, padahal para ahli sejarah telah mencatat bahwa sampai masa akhir hidupnya Imam Thabari tidak pernah menikah. Beliau dilahirkan pada akhir tahun 224 H awal tahun 225. Beliau wafat pada usia 86 tahun di Baghdad negri kelahiranya pada tahun  310 ijriah.
Selain banyaknya bidang keilmuan yang disentuh, bobot karya-karya  al-Thabari sangat dikagumi para ulama dan peneliti. Al-Hasan ibn Ali al-Ahwazi, ulama qira’at, menyatakan, “Abu Ja`far [al-Thabari] adalah seorang ulama fiqih, hadits, tafsir, nahwu, bahasa dan `arudh. Dalam semua bidang tersebut dia melahirkan karya bernilai tinggi yang mengungguli karya para pengarang lain.
ami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an adalah “Keterangan Lengkap Tentang Tafsir Al Qur’an” atau yang di kalangan ulama dan pencari ilmu, populer dengan sebutan Tafsir Ath Thabari.
Sebagaimana judulnya, tafsir ini dinilai sebagai tafsir yang paling lengkap dan populer di kalangan ulama dan pencari ilmu. Tak heran bila kitab ini dijadikan rujukan para ahli tafsir yang mengedepankan nash maupun ahli tafsir yang lebih mengedepankan logika dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an di jamannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkomentar, Adapun tafsir-tafsir yang ada di tangan manusia, yang paling baik adalah tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari. Hal ini karena menyebutkan ucapan-ucapan salaf dengan sanad-sanad yang kokoh, tidak menukil kebid’ahan, dan tidak menukil dari orang-orang yang diragukan agamanya.    
2.      Ibnu Athiyyah
Nama lengkapnya adalah al-Qadhi Abu Muhammad Abd al-Haq ibn Ghalib ibn Abdurrahman ibn Ghalib ibn Athiyyah al-Muharibi. Ia lahir di Granada pada tahun 481 H. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ayahnya adalah seorang ulama hadis terkemuka yang hafal beribu-ribu hadis. Dari ayah inilah ia mendapat pendidikan dasar agama Islam.
Ibnu Athiyyah dianugerahi kecerdasan yang luar biasa. Karena itu, pelajaran yang diterimanya dengan mudah dihafalkan. Tentang hal ini, Imam as-Sayuthi dalam kitab Bughya al-Wu’ad berkata, “Ia orang yang mulia. Terlahir dari keluarga yang berilmu. Otaknya sangat cerdas. Bagus pemahamannya dan terpuji budi pekertinya.”
Ibnu Athiyyah banyak menulis karya. Hanya saja, karya berupa tafsir telah melambungkan popularitasnya. Tafsir yang diberi nama al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir Al-Qur’an al-Aziz mampu membangkitkan nasionalisme Arab. Melalui tafsir itu, ia tak henti-hentinya memberi semangat kepada generasi muda untuk bersatu dan memandang kehidupan dengan penuh optimistis.
Tafsir ini ditulis dengan bahasa yang ringkas dan sarat makna. Dengan tafsir ini ia mampu mengalahkan ulama yang hidup semasa dengannya—dan bahkan juga sesudahnya. Ibnu al-Umairah az-Zahabi memberi kesaksian tentang hal ini. Ia berkata, “Ibnu Athiyyah mengarang kitab dalam bidang tafsir yang mengungguli kitab-kitab sebelumnya.”
Ibnu Athiyyah banyak menulis karya. Hanya saja, karya berupa tafsir telah melambungkan popularitasnya. Tafsir yang diberi nama al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir Al-Qur’an al-Aziz mampu membangkitkan nasionalisme Arab. Melalui tafsir itu, ia tak henti-hentinya memberi semangat kepada generasi muda untuk bersatu dan memandang kehidupan dengan penuh optimistis.
Tafsir ini ditulis dengan bahasa yang ringkas dan sarat makna. Dengan tafsir ini ia mampu mengalahkan ulama yang hidup semasa dengannya—dan bahkan juga sesudahnya. Ibnu al-Umairah az-Zahabi memberi kesaksian tentang hal ini. Ia berkata, “Ibnu Athiyyah mengarang kitab dalam bidang tafsir yang mengungguli kitab-kitab sebelumnya.”
Tanggal 25 Ramadhan 541 Hijriah, Ibnu Athiyah, seorang ulama hadis dan tafsir terkenal asal Andalusia, meninggal dunia. Dia berasal dari keluarga berpendidikan dan hampir semua anggota keluarga itu adalah ilmuwan dan sastrawan. Meskipun Ibnu Athiyah terkenal sebagai ahli tafsir dan hadis, namun banyak penulis sejarah yang mencatat bahwa dia juga menguasai ilmu fiqih, ushul fiqih, dan sastra. Karya terpenting Ibnu Athiyah adalah kitab tafsir dengan mukadimah yang dianggap sebagai karya terbaik dalam ilmu Quran. Karya lain Ibnu Athiyah berjudul "al-Barnamij".
3.      Muhamad Bin Ishaq
Muhammad bin Ishaq. Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Sang pengembara yang mencari ilmu ke berbagai negara, seorang pakar hadits Islam Abu Abdillah Muhammad, putra seorang ahli hadits yang bernama Abu Ya’qub Ishaq bin al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Yahya bin Mandah. Nama asli Mandah adalah Ibrahim bin al-Walid bin Sandah, berasal dari Ashfahan (disebut juga Isfahan atau Ashbahan, 300km dari Teheran, Iran).
Beliau dilahirkan pada tahun 310 atau 311 H. Di dalam Lisan al-Mizan, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Mandah lahir pada tahun 316 H dan mulai mendengar hadits pada tahun 318 H dan sesudahnya.” Namun ucapan Ibnu Hajar ini adalah jelas sebuah kekeliruan, sebagaimana ditegaskan oleh pen-tahqiq Kitab at-Tauhid karya Ibnu Mandah.
Ibnu Mandah dilahirkan di Ashbahan, salah satu kota di wilayah Khurasan. Di kota inilah banyak dilahirkan sosok ulama besar semacam Abu Nu’aim al-Ashbahani penulis Hilyatul Auliya’, Dawud azh-Zhahiri, Abul Fadhl al-Ashbahani -yang dijuluki dengan Qowamus Sunnah- dan lain sebagainya. Di kota inilah Ibnu Mandah menimba ilmu, belajar akhlak dan mengejar keutamaan kepada para ulamanya. Pada tahun 330 H -ketika itu umurnya tidak lebih dari 20 tahun- beliau mulai mengadakan perjalanan untuk menimba ilmu ke Naisabur. Beliau pun terus melakukan perjalanan untuk menimba ilmu ini ke berbagai negeri selama 40 tahun lamanya. Setelah itu, beliau pulang ke negeri asalnya dalam keadaan telah menjadi seorang ulama besar yang telah mencatat ilmu dari 1700 orang guru. Dalam usia yang masih belia, Ibnu Mandah sudah mulai mendengar penuturan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada waktu itu -tahun 318 H- Ibnu Mandah masih berumur antara 7 hingga 8 tahun. Beliau mendengarkan hadits dari ayahnya -Ishaq- dan juga dari paman ayahnya Abdurrahman bin Yahya bin Mandah, dan juga dari para ulama Ashbahan yang lain.
Beliau juga menyusun kitab-kitab bantahan untuk ahli bid’ah. Di antara karyanya adalah ar-Radd ‘alal Lafzhiyah dan ar-Radd ‘alal Jahmiyah. Beliau juga sangat perhatian dalam masalah akidah, oleh karenanya beliau menulis kitabnya yang sangat terkenal Kitab at-Tauhid. Ibnu Mandah bukan hanya pakar dalam bidang hadits, beliau juga ahli di bidang tafsir dan mumpuni di bidang sejarah dan qiro’at. bnu Mandah wafat pada tahun 395 H. Sebagaimana penjelasan Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya; Siyar A’lam an-Nubala’, Tadzkiratul Huffazh, dan Mizanul I’tidal. Demikian pula penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisanul Mizan. Keterangan Ibnu Abi Ya’la dalam kitabnya Thabaqat al-Hanabilah, Ibnul ‘Imad dalam Syadzarat adz-Dzahab. Dan keterangan Ibnu Taghri Bardi dalam an-Nujum az-Zahirah. Dan inilah pendapat Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan.[18]

Ø  .   Tafsir Bir Ra’yi
yaitu AL –Qur’an yang di tafsirkan berdasarkan pada akal pikiran (rasional)

4.      Abu  Muslim Al Asfahany (254-322 H)

    Seorang pembesar negara di Asfahan, termasuk penulis yang ulung, sangat pandai dalam urusan tafsir dan dalam berbagai ilmu. Ia juga merupakan salah seorang tokoh mu’tazilah.
    Nama : Abu Muslim Muhammad Ibn Baher.   Ia adalah orang yang pertama kali menyusun tafsir Al Qur’an yang lengkap atas dasar dirayat yang benar dan kaidah-kaidah yang kuat sesuai dengan kehendak bahasa. Pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh Fakhruddin Ar Razi dalam menulis tafsirnya.
     Diantara pendapatnya yang cukup menggegerkan sebagian ulama ialah: “ Tidak ada didalam Al Qur’an suatu ayat yang telah di-mansukh-kan, segala ayat yang didakwa mansukh dapat kita tanfikkan, karena itu tidak ada nasikh dan mansukh”.

Karya
·         Jami’ut Ta’wil, suatu kitab tafsir yang terdiri dari 14 jilid. Tafsir ini sangat baik susunannya, pentakhihannya, dan bagus uraiannya. Kitab ini tidak berkembang dalam masyarakat, tetapi sari patinya banyak dinukilkan oleh Ar Razi.   Jika mempelajari tafsir Ar Razi, sebagian besar pendapat Asfahani telah dipindahkan Ar Razi dalam kitabnya yang bernama Al Muqtathaf.

5.      Imam al-Nasafiy
Al-Nasafiy merupakan ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu. Beliau adalah imam yang memiliki pandangan yang luas lagi mendalam, tokoh di bidang Fiqh dan Ushul Fiqih, menguasai ilmu Hadîts dan serta ilmu Tafsîr. Mereka yang membaca karya-karyanya akan melihat ketelitian, ketepatan penggunaan bahasa, kefokusan, dan sarat informasi yang beragam dalam ruang lingkup yang sempit. Hal ini dapat menyulitkan mereka yang bukan pakar untuk mengadopsi dan memahami pemikirannya.
Imam al-Nasafiy belajar kepada banyak guru, diantara yang termasuk gurunya adalah Syams al-'Aimmah al-Kurdiy, Ahmad bin Muhammad al-'Itabi dan deretan nama-nama besar lainnya. Sebagai seorang ulama yang ternama di massanya, al_Nasafiy juga meninggalkan karya yang tidak sedikit, di dalam berbagai bidang ilmu,  Di antara karya Imam Nasafiy tersebut adalah: Matan al-Wafiy fi al-Furu’, yang kemudian kitab ini beliau syarah di dalam kitab al-Kafi fi Syarh al-Wafi, Kanz al-Daqâ’iq (di bidang Fiqh), Manar al-Anwâr fi Ushul al-Fiqh, 'Umdah al-'Aqa'id fi Ushûl al-Dîn dan berbagai karya lainnya, termasuk kitab Tafsîr Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl yang menjadi pembahasan di dalam makalah ini.
Imam Nasafiy adalah sosok yang zuhud, shaleh dan takwa. Di samping aktif dalam kegiatan ilmiah, pengkajian dan penelitian, la merupakan pakar kenamaan di masanya dan masa sesudahnya. Allah memberikan keberkahan terhadap banyak karyanya. Hingga kemudian men­jadi rujukan dan objek studi bagi ulama setelahnya. Hal ini karena ke­cermatan beliau serta pilihan kata dalam setiap karyanya yang lugas dan tidak berbelit-belit.[19]
Berkat kecerdasan dan keluasan ilmunya, al-Nasafiy memperoleh apresiasi dari banyak ulama, seperti al-‘Asqalaniy menyebut beliau dengan sebutan علامة الدنياAllamah al-Dunya. Lain lagi dengan al-Hâfizh ‘abd al-Qâdir dalam Thabaqat-nya, sebagai mana yang dikutip oleh al-‘Asqalaniy, ia menulis sebagai berikut:
أحد الزهاد المتأخرين صاحب التصانيف المفيدة في الفقه والأصول...
Salah seorang zuhud yang hidup di abad terakhir, yang memiliki karya-karya bermanfaat di bidang fiqih dan ushul...
Sebagai ulama ahlu sunnah, al-Nasafiy mempunyai sikap yang tegas dan jelas terhadap setiap penyimpangan dalam penafsiran al-Qur’ân, terutama terhadap tafsîr al-Kassyâf. Dirinya tidak hanya mengkritisi pemikiran Mu'tazilah dalam tafsîr al-Kassyâf, namun juga seluruh buku-buku teologis karyanya.
Al-Nasafiy wafat pada tahun 701 Hijriyah di kota 'Aidzaj yang ter­letak di antara Khuzistan dan Ashfahan. Sedangkan di dalam kitab Thabaqat al-Mufassirun, karya al-Adnarawiy disebutkan bahwa al-Nasafiy meninggal pada tahun 710 H di kota Baghdad.





















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ibnu Taymiah, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi, Imam Al Gazali, dan Ibnu Qayim al Jauziyah adalah sebagian para ulama yg ahli di bidang ushul fiqih, namun mereka tidak hanya ahli dalam satu bidang ilmu saja.Mereka memiliki kemampuan masing-masing selain ilmu ushul fiqih. Seperti ibnu Taymiah yg ahli di bidang tafsir, imam Syafi’i, imam Baihaqi dan imam Gazali yg ahli di bidang hadis, dan fiqih, dan Ibnu qayim al jauziah yg ahli tafsir n ushu lfiqih yang tiada tandingannya.
Iamam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur di antara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah bahkan dalam kitab-kitab Fiqih dan Hadits.hadits-hadits imam Bukhari memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya
Ø  Ilmu tafsir dibagi menjadi dua Tafsir bil Ma’sur.
Yaitu Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan hadis-hadis nabi. Adapun para Mufassirinnya adalah:
·         Ibnu Jarir Ath-Thobary
·         Ibnu Athiyyah
·         Muhamad Bin Ishaq
Ø  .   Tafsir Bir Ra’yi
yaitu AL –Qur’an yang di tafsirkan berdasarkan pada akal pikiran (rasional) musafirnya yaitu:
·         Imam al-Nasafiy
·         Abu  Muslim Al Asfahany (254-322 H)



[1] Sirajudin Abbad, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,1987),hal.  261

[2] Lihat Jamharah Ansabil ‘Arab karya Ibnu Hazm rahimahullahu hal 275. Lihat At-Tibyan Syarh Badi’atil Bayan karya Ibnu Nashir (Program Syamilah).
[3] Abd. al-Rahim al-Asnawi Ijmal al-Din, Tabaqat al-Syafi’iyyah,  (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), hlm. 18.
[4] Al-Sunan al-Shaghir, Imam Baihaqi(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah cet. pertama, thn. 1412H-1992 M)
[5] Ikhwan Fauzi, Lc, Cendekiawan Muslim Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, Hlm.9
[6] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf,  (Jakarta : Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, 2008), cet. III, h. 12.
[7] Kitab Ighasatul Lahfan min Mashaa-idisy Syaithan, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, tahqiq: Khalid Abdul Lathif As-Saba` Al-`Alami, cetakan.1,
[8] Ibn Rāhwayh, Isḥāq (1990), in Balūshī, ʻAbd al-Ghafūr ʻAbd al-Ḥaqq Ḥusayn, Musnad Isḥāq ibn Rāhwayh (ed. 1st), Tawzīʻ Maktabat al-Īmān, hlm. 150–165
[9] Mushthalah al-Hadis, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal. 90-92, cetakan Jami'ah al-Imam Muhammad bin Su'ud al-Islamiyyah
[10] uhamad Alawi Al-Maliki.Ilmu Ushul Hadis, Adnan Qohar (terj) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006 ).277.
[11] Abu Isa Muhammad Ibn Isa Saurah, al-Jami’al-Shahih Li al-Tirmidzi Juz I(Cet. I; Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), h. 77.
[12] Abi al-Fadhli Jamaluddin Muhammad Ibn Mukram Ibn Mandzur, Lisanul Arab Jilid I (Kairo: Dar al-Ma’arif, t. th.), h. 431.
[13] Nuruddin Itr, al-Imam al-Tirmidzi (Cet I; Mesir: Lajnah Ta’lif wa Tarjamah wa al-Nasyri’1970), h. 11
[14] Abdullah bin Abdullah, Op. Cit., h. 122.
[15] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 254
[16] Nawir Yuslem, 9 Kitab Induk Hadis (Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2011), cet. Kedua, h. 127-128
[17] Muhammad Alfatih Suryadilaga, Studi Kitab Hadits (Jakarta: Teras, 2003), h. 164.
[18] Pengantar Kitab at-Tauhid li Ibni Mandah, hal. 1-69
[19] Mani’ ‘abd al-Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirîn, terj. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 44